Fenomena Baru di Indonesia: Media Sosial Mulai jadi Alat Kontrol Arogansi Kekuasaan?
Media Sosial dan Fungsi Kontrol Itu...
13 Oktober 2012
Penegasan tentang pentingnya fungsi kontrol pers terhadap kekuasaan makin diperkuat oleh eksistensi fungsional media sosial. Bahkan tidaklah berlebihan bila disimpulkan, media -- terutama media sosial -- telah menjadi "lembaga" terkuat yang mendorong, memberi arah, dan mendeterminasi penyelesaian sejumlah persoalan tentang penyalahgunaan kekuasaan. Yang paling aktual, persoalan di seputar polemik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia.
Berbagai suara di ruang media sosial bersahut-sahutan dalam memberi tanggapan, komentar, ajakan, dan solusi; termasuk mengkritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai lamban bersikap untuk memberikan arahan. Apakah sikap Presiden didorong oleh kerisihan karena dikicaukan oleh percakapan interaktif masyarakat, atau sedari awal memang akan bersikap setegas itu, wallahua'lam. Yang jelas, masyarakat makin menemukan formulasi medium untuk bersikap.
Arogansi kekuasaan, terutama terkait dengan penegakan hukum yang melukai rasa keadilan rakyat, hanya akan menyuburkan sikap perlawanan. Kristalisasi itu termobilisasi oleh opini yang berkembang, lalu bergerak menjadi sikap. Sebagai aspirasi, pendapat dan seruan-seruan melalui medium yang saling bersahutan itu memiliki gema lebih cepat, dan ujungnya media-media konvensional yang mainstream menemukan titik untuk mengarahkannya sebagai agenda setting kebijakan pemberitaan.
Ketika dua komisioner KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah mengalami kriminalisasi, lalu Prita Mulyasari diproses hukum karena menyampaikan keluhan tentang layanan Rumah Sakit Omni International melalui media online, juga sejumlah kasus luka keadilan lainnya, media sosial berperan di paling depan. Fungsi kontrol pers yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 pun secara fungsional telah dilaksanakan oleh media sosial.
Di panggung dunia, kita mencatat keruntuhan rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan Libia banyak didorong oleh fungsionalisasi media sosial. Di Indonesia, partisipasi civil society menjadi kekuatan penanding bagi kemungkinan aneka "pembodohan" yang dilakukan oleh elite kekuasaan. Sikap atau kebijakan dari pusat-pusat kekuasaan seperti DPR atau kepolisian yang tidak menyentuh kepentingan rakyat, atau kedistorsian rasa keadilan akan cepat terimbangi oleh suara kritis publik.
Perlawanan dengan menggalang dan membentuk opini sebagai sikap rakyat, bagaimanapun harus kita akui sebagai maslahat perkembangan media sosial. Memang tidak setiap persoalan bisa diselesaikan dengan mobilisasi opini, namun sebagai pranata check and balances kekuasaan dan penegakan hukum, kita telah merasakan efektivitasnya. Logikanya, ketika amanat rakyat tidak dijalankan sebagaimana seharusnya, jangan salahkan jika akhirnya rakyat memilih sikapnya sendiri
http://www.suaramerdeka.com/v1/index...si-Kontrol-Itu
Presiden: Saya Mengikuti Kegaduhan di Media Sosial
Senin, 8 Oktober 2012 | 21:32 WIB
Presiden SBY ketika memberikan keterangan pers terkait kekisruhan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/10/2012).Presiden SBY sempat galau dengan berbagai pemberitaan yang menyudutkan dirinya di media sosial terkait 'perang' KPK dan Polri itu.
JAKARTA, KOMPAS.com Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memberikan pernyataan menanggapi perselisihan antar-dua lembaga, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (8/10/2012) malam, di Istana Negara, Jakarta. Mengawali pidatonya, Presiden mengungkapkan bahwa ia tak berdiam diri menghadapi perselisihan di antara dua lembaga tersebut. Bahkan, Presiden mengaku mengikuti kegaduhan yang terjadi di media sosial."Saya mengikuti kegaduhan di social media dan SMS yang masuk; dan SMS yang masuk ke saya yang seolah-olah Presiden diam saja, tidak melakukan apa-apa terhadap dinamika yang terjadi," kata Presiden.
Presiden mengungkapkan, pada tanggal 5 Oktober 2012, tepatnya sore hari, ia memanggil Kepala Polri (Kapolri) untuk memberikan arahan guna mengatasi perselisihan dengan KPK. Presiden mengatakan, pemanggilan Kapolri pada malam hari sebelum insiden di KPK. Insiden yang dimaksud adalah upaya penangkapan yang dilakukan Polda Bengkulu terhadap seorang penyidik KPK asal Polri, Komisaris Novel Baswedan, atas dugaan kasus penganiayaan berat pada tahun 2004."Tanggal 6 Oktober, kami bekerja. Melalui Menkopolhukam sudah disampaikan. Pertemuan pada hari Minggu tidak bisa dilakukan karena pimpinan KPK berada di luar kota. Minggu malam, saya dukung ketika Mensesneg bertemu pimpinan KPK. Saya tadi pagi juga setuju agar Mensesneg memfasilitasi pertemuan Kapolri dengan pimpinan KPK," kata Presiden.
Pada siang tadi, Presiden juga sudah bertemu dengan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo. "Pertemuan berjalan dengan baik dan konstruktif. Dengan penjelasan ini, saya berharap, rakyat Indonesia bisa memahami duduk persoalan dan memahami apa kebijakan, solusi, dan tindakan lebih lanjut yang harapan saya bisa dijalankan bersama-sama," ujarnya.
http://nasional.kompas.com/read/2012...i.Media.Sosial
Sudi: Presiden Diserang di Media Sosial Mengenai Konflik KPK-Polri
Minggu, 7 Oktober 2012 | 18:02 WIB
Presiden malah akan mengambil alih penyelesaian konflik itu. Tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana detail pengambilalihan tersebut."Presiden mendengar komentar masyarakat untuk mengambil alih. Namun, sebelum Presiden mengambil alih, terlebih dahulu dikedepankan upaya yang dilakukan Polri dan KPK sesuai UU yang berlaku atau MOU (nota kesepahaman) yang disepakati bersama. Namun, berhubung perkembangan situasi sudah semakin tidak baik, banyak yang memanipulasi, Presiden akan segera mengambil alih dan menyampaikan penjelasan kepada rakyat, Senin (8/10) atau paling lambat Selasa (9/10)," kata Sudi dalam keterangan pers, Minggu sore (7/10), di Kantor Presiden.
Ikut mendampingi Sudi, Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha.Menurut Sudi, permasalahan antara KPK dan Polri sudah berkembang semakin negatif dan secara politik semakin dimanipulasi. Terlebih lagi, di jejaring media sosial banyak serangan yang ditujukan kepada Presiden seolah-olah Presiden membiarkan persoalan ini.Sudi membantah tudingan kepada Presiden itu. Menurut dia, Presiden tidak pernah alpa untuk memberikan perhatian terhadap persoalan antara Polri dan KPK. Paling tidak, sejak awal Presiden sudah memberikan arahan kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo agar keadaan tidak semakin berkembang.
http://nasional.kompas.com/read/2012...i.Media.Sosial
--------------
Manakala media pemberitaan resmi seperti koran, televisi swasta, dan media on-line hanya dikuasai oleh sekelompok pemodal besar dan oleh kekuatan politik golongan semata, wajarlah masyarakat menjadi alternatif lainnya. Media Sosial menjadi menarik karena lebih luwes dan bebas, meski pokok bahasannya juga berasal dari sumber media resmi itu. Tapi dari situ mereka (masyarakat) melalui media sosial seperti Kaskus ini, bisa memolesnya dan mengembangkannya lebih jauh, dengan memberi latar-belakang berita dan informasi yang tak pernah bisa dimuat di media resmi itu. Zaman sudah berubah, bahkan, media resmi seperti koran on-line dan televisi itu, sesungguhnya sedikit demi sedikit sudah dijauhi masyarakat
13 Oktober 2012
Penegasan tentang pentingnya fungsi kontrol pers terhadap kekuasaan makin diperkuat oleh eksistensi fungsional media sosial. Bahkan tidaklah berlebihan bila disimpulkan, media -- terutama media sosial -- telah menjadi "lembaga" terkuat yang mendorong, memberi arah, dan mendeterminasi penyelesaian sejumlah persoalan tentang penyalahgunaan kekuasaan. Yang paling aktual, persoalan di seputar polemik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia.
Berbagai suara di ruang media sosial bersahut-sahutan dalam memberi tanggapan, komentar, ajakan, dan solusi; termasuk mengkritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai lamban bersikap untuk memberikan arahan. Apakah sikap Presiden didorong oleh kerisihan karena dikicaukan oleh percakapan interaktif masyarakat, atau sedari awal memang akan bersikap setegas itu, wallahua'lam. Yang jelas, masyarakat makin menemukan formulasi medium untuk bersikap.
Arogansi kekuasaan, terutama terkait dengan penegakan hukum yang melukai rasa keadilan rakyat, hanya akan menyuburkan sikap perlawanan. Kristalisasi itu termobilisasi oleh opini yang berkembang, lalu bergerak menjadi sikap. Sebagai aspirasi, pendapat dan seruan-seruan melalui medium yang saling bersahutan itu memiliki gema lebih cepat, dan ujungnya media-media konvensional yang mainstream menemukan titik untuk mengarahkannya sebagai agenda setting kebijakan pemberitaan.
Ketika dua komisioner KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah mengalami kriminalisasi, lalu Prita Mulyasari diproses hukum karena menyampaikan keluhan tentang layanan Rumah Sakit Omni International melalui media online, juga sejumlah kasus luka keadilan lainnya, media sosial berperan di paling depan. Fungsi kontrol pers yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 pun secara fungsional telah dilaksanakan oleh media sosial.
Di panggung dunia, kita mencatat keruntuhan rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan Libia banyak didorong oleh fungsionalisasi media sosial. Di Indonesia, partisipasi civil society menjadi kekuatan penanding bagi kemungkinan aneka "pembodohan" yang dilakukan oleh elite kekuasaan. Sikap atau kebijakan dari pusat-pusat kekuasaan seperti DPR atau kepolisian yang tidak menyentuh kepentingan rakyat, atau kedistorsian rasa keadilan akan cepat terimbangi oleh suara kritis publik.
Perlawanan dengan menggalang dan membentuk opini sebagai sikap rakyat, bagaimanapun harus kita akui sebagai maslahat perkembangan media sosial. Memang tidak setiap persoalan bisa diselesaikan dengan mobilisasi opini, namun sebagai pranata check and balances kekuasaan dan penegakan hukum, kita telah merasakan efektivitasnya. Logikanya, ketika amanat rakyat tidak dijalankan sebagaimana seharusnya, jangan salahkan jika akhirnya rakyat memilih sikapnya sendiri
http://www.suaramerdeka.com/v1/index...si-Kontrol-Itu
Presiden: Saya Mengikuti Kegaduhan di Media Sosial
Senin, 8 Oktober 2012 | 21:32 WIB
Presiden SBY ketika memberikan keterangan pers terkait kekisruhan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/10/2012).Presiden SBY sempat galau dengan berbagai pemberitaan yang menyudutkan dirinya di media sosial terkait 'perang' KPK dan Polri itu.
JAKARTA, KOMPAS.com Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memberikan pernyataan menanggapi perselisihan antar-dua lembaga, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (8/10/2012) malam, di Istana Negara, Jakarta. Mengawali pidatonya, Presiden mengungkapkan bahwa ia tak berdiam diri menghadapi perselisihan di antara dua lembaga tersebut. Bahkan, Presiden mengaku mengikuti kegaduhan yang terjadi di media sosial."Saya mengikuti kegaduhan di social media dan SMS yang masuk; dan SMS yang masuk ke saya yang seolah-olah Presiden diam saja, tidak melakukan apa-apa terhadap dinamika yang terjadi," kata Presiden.
Presiden mengungkapkan, pada tanggal 5 Oktober 2012, tepatnya sore hari, ia memanggil Kepala Polri (Kapolri) untuk memberikan arahan guna mengatasi perselisihan dengan KPK. Presiden mengatakan, pemanggilan Kapolri pada malam hari sebelum insiden di KPK. Insiden yang dimaksud adalah upaya penangkapan yang dilakukan Polda Bengkulu terhadap seorang penyidik KPK asal Polri, Komisaris Novel Baswedan, atas dugaan kasus penganiayaan berat pada tahun 2004."Tanggal 6 Oktober, kami bekerja. Melalui Menkopolhukam sudah disampaikan. Pertemuan pada hari Minggu tidak bisa dilakukan karena pimpinan KPK berada di luar kota. Minggu malam, saya dukung ketika Mensesneg bertemu pimpinan KPK. Saya tadi pagi juga setuju agar Mensesneg memfasilitasi pertemuan Kapolri dengan pimpinan KPK," kata Presiden.
Pada siang tadi, Presiden juga sudah bertemu dengan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo. "Pertemuan berjalan dengan baik dan konstruktif. Dengan penjelasan ini, saya berharap, rakyat Indonesia bisa memahami duduk persoalan dan memahami apa kebijakan, solusi, dan tindakan lebih lanjut yang harapan saya bisa dijalankan bersama-sama," ujarnya.
http://nasional.kompas.com/read/2012...i.Media.Sosial
Sudi: Presiden Diserang di Media Sosial Mengenai Konflik KPK-Polri
Minggu, 7 Oktober 2012 | 18:02 WIB
Presiden malah akan mengambil alih penyelesaian konflik itu. Tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana detail pengambilalihan tersebut."Presiden mendengar komentar masyarakat untuk mengambil alih. Namun, sebelum Presiden mengambil alih, terlebih dahulu dikedepankan upaya yang dilakukan Polri dan KPK sesuai UU yang berlaku atau MOU (nota kesepahaman) yang disepakati bersama. Namun, berhubung perkembangan situasi sudah semakin tidak baik, banyak yang memanipulasi, Presiden akan segera mengambil alih dan menyampaikan penjelasan kepada rakyat, Senin (8/10) atau paling lambat Selasa (9/10)," kata Sudi dalam keterangan pers, Minggu sore (7/10), di Kantor Presiden.
Ikut mendampingi Sudi, Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha.Menurut Sudi, permasalahan antara KPK dan Polri sudah berkembang semakin negatif dan secara politik semakin dimanipulasi. Terlebih lagi, di jejaring media sosial banyak serangan yang ditujukan kepada Presiden seolah-olah Presiden membiarkan persoalan ini.Sudi membantah tudingan kepada Presiden itu. Menurut dia, Presiden tidak pernah alpa untuk memberikan perhatian terhadap persoalan antara Polri dan KPK. Paling tidak, sejak awal Presiden sudah memberikan arahan kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo agar keadaan tidak semakin berkembang.
http://nasional.kompas.com/read/2012...i.Media.Sosial
--------------
Manakala media pemberitaan resmi seperti koran, televisi swasta, dan media on-line hanya dikuasai oleh sekelompok pemodal besar dan oleh kekuatan politik golongan semata, wajarlah masyarakat menjadi alternatif lainnya. Media Sosial menjadi menarik karena lebih luwes dan bebas, meski pokok bahasannya juga berasal dari sumber media resmi itu. Tapi dari situ mereka (masyarakat) melalui media sosial seperti Kaskus ini, bisa memolesnya dan mengembangkannya lebih jauh, dengan memberi latar-belakang berita dan informasi yang tak pernah bisa dimuat di media resmi itu. Zaman sudah berubah, bahkan, media resmi seperti koran on-line dan televisi itu, sesungguhnya sedikit demi sedikit sudah dijauhi masyarakat
Media Sosial Masih Dikuasai Media Mainstream
Selasa, 20 Maret 2012 | 11:35 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran media sosial sejatinya membebaskan individu dari belenggu informasi. Media sosial menjanjikan kesetaraan dalam berbagi informasi, artinya, siapa saja berhak menyampaikan informasi. Namun kenyataannya, media sosial masih dikuasai oleh media massa mainstream. Keberadaan media sosial saat ini, seperti blog, jejaring sosial, dan forum online, masih sebatas membicarakan dan mengolah informasi yang didapat dari media mainstream.
Menurut Roby Muhamad, pakar jejaring sosial yang juga peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, seharusnya media sosial membebaskan masyarakat dari belenggu informasi. Namun kenyataannya, media sosial belum bisa menjadi sumber informasi."10 juta pengguna Twitter di Indonesia hanya membicarakan dan mengolah informasi, mereka belum menjadi sumber informasi. Informasi di Twitter lewat URL, itu masih didominasi oleh media massa," katanya.
Meskipun, diakui Roby, informasi yang diolah itu bisa menghasilkan frame baru dalam memandang sebuah topik.Media sosial juga menjanjikan bahwa semua orang setara. "Tapi, entah kenapa dalam jejaring sosial masih ada hierarki di mana ada orang yang jadi pemimpin," lanjut Roby.Semua orang, termasuk kelompok yang punya kepentingan, berusaha untuk mengeksploitasi jejaring sosial untuk mempopulerkan dirinya. Roby mengatakan, media sosial yang seharusnya setara sekarang banyak digunakan kelompok berkepentingan untuk menguasai informasi.
http://tekno.kompas.com/read/2012/03...dia.Mainstream
Ketika Media Dikuasai Tokoh Politik ... Orang pun Lari ke Media Sosial?
Sabtu, 11 Februari 2012 | 15:27 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com Tak hanya pemilik modal yang kini menguasai media. Tokoh-tokoh yang berkiprah dalam bidang politik turut latah untuk menjadi pemilik media, terutama media nasional.Anggota Dewan Pers, Wina Armada, menyebutnya dengan istilah "juraganisme dalam pers". Pengaruh kepentingan politik, kata dia, setidaknya akan memengaruhi informasi yang diberikan. Meskipun demikian, tak semua media mengaburkan informasi dan fakta yang sebenarnya.Terkadang wartawannya tidak berani melawan kekuasaan politik ini. Jangan sampai terjadi membuat berita partai A ini kampanye didatangi hanya 500 orang lalu ditulis 5.000 orang. "Ini tidak sesuai dengan kode etik dan terjadi di banyak pilkada," ujar Wina di Jakarta, Sabtu (11/2/2012).
Menurut Wina, tidak salah jika sebuah media dikuasai oleh orang yang berkecimpung di dunia politik dan memiliki kepentingan. Namun, kepentingan itu juga perlu disaring dan tidak terus memanipulasi berita yang akan ditayangkan."Punya kepentingan itu tidak masalah. Walaupun miliknya tidak boleh hilangkan kode etik jurnalistik. Sepanjang tidak melanggar aturan kode etik, tidak masalah," kata Wina.Wartawan senior Albert Kuhon mengungkapkan, media dengan pemilik tokoh politik jangan sampai memberikan berita pencitraan yang tak sesuai kenyataan. Jangan sampai nanti masyarakat kecewa pada akhirnya karena sebelum tokoh politik ini maju, namanya bagus terus, ada pencitraan."Ternyata setelah dipilih jadi presiden atau gubernur, mengecewakan. Sama saja dengan menipu publik," kata Kuhon.
Sosiolog UI, Tamrin Amal Tamagola, mengungkapkan, dengan adanya kepemilikan media massa oleh tokoh politik, maka untuk Pilpres 2014 bukan lagi karena capres yang kuat, melainkan juga capres yang dilihat dari pencitraan di medianya."Yang saya sangat khawatirkan media hanya sekadar alat corong dari pemilik kekuasaan semata untuk kepentingan politiknya. Tambah sulit lagi itu karena sekarang itu ada apa yang disebut dengan taruhan-taruhan politik. Jadi pemilik media ini juga bertarung di dalam arena politik," ujar Tamrin.Dalam dunia pers, kata dia, tak ada tawar-menawar pemberitaan. Ada batas toleransi di mana pemilik media mengendalikan pemberitaannya. Kebebasan pers yang bertanggung jawab, kata dia, tetap yang terpenting."Kebebasan itu yang harus selalu diperjuangkan. Insan-insan pers harus perjuangkan bahwa kebebasan jurnalisme mereka itu sesuatu yang tidak boleh ditawar," katanya.
http://nasional.kompas.com/read/2012....Tokoh.Politik
Dubes AS Puji Pemerintah Soal Kebebasan Internet
18/02/2011 17:07
Liputan6.com, Jakarta: Duta Besar Amerika Serikat (AS), Scot Marciel, senang dengan kebebasan internet di Indonesia. Menurutnya Pemerintah Indonesia, tidak mengekang kebebasan Internet. "Banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan internet untuk menyampaikan ekspresi dan kritik," ujatnya, kepada sejumlah wartawan di kediamannya, Jumat (18/2).
Menurut Marciel, Indonesia yang saat ini memiliki komunitas facebook terbesar kedua di dunia, dan pengguna terbesar ketiga untuk twitter, menunjukkan bagaimana masyarakat dengan bebas dan mudah menyampaikan pendapat dan ekspresinya tanpa harus dikekang oleh pemerintah. Ditambahkannya, banyaknya masyarakat Indonesia yang membuat blog dan aktif mengisi konten dalam blog-blognya akan membuat masyarakat tersebut menjadi lebih cerdas.
Scot Marciel menyatakan, apa yang terjadi di Mesir, Tunisa dan beberapa negara Timur Tengah yang kini tengah bergolak, menggambarkan bagaimana sulitnya pemerintah setempat mengontrol kebebesan berinternet meski sudah berupaya dengan memblokit akses internet.
Scot yang mengaku baru enam bulan bertugas di Indonesia, mendukung upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk melindungi warganya dari efek samping kebebasan internet dengan cara memblokir situs-situs yang berbau pornografi. "Saya sendiri yang memiliki anak belasan khawatir dengan dampak dari pornografi, walaupun ini masih menjadi perdebatan di Amerika
http://tekno.liputan6.com/read/32092...basan-internet
Selasa, 20 Maret 2012 | 11:35 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran media sosial sejatinya membebaskan individu dari belenggu informasi. Media sosial menjanjikan kesetaraan dalam berbagi informasi, artinya, siapa saja berhak menyampaikan informasi. Namun kenyataannya, media sosial masih dikuasai oleh media massa mainstream. Keberadaan media sosial saat ini, seperti blog, jejaring sosial, dan forum online, masih sebatas membicarakan dan mengolah informasi yang didapat dari media mainstream.
Menurut Roby Muhamad, pakar jejaring sosial yang juga peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, seharusnya media sosial membebaskan masyarakat dari belenggu informasi. Namun kenyataannya, media sosial belum bisa menjadi sumber informasi."10 juta pengguna Twitter di Indonesia hanya membicarakan dan mengolah informasi, mereka belum menjadi sumber informasi. Informasi di Twitter lewat URL, itu masih didominasi oleh media massa," katanya.
Meskipun, diakui Roby, informasi yang diolah itu bisa menghasilkan frame baru dalam memandang sebuah topik.Media sosial juga menjanjikan bahwa semua orang setara. "Tapi, entah kenapa dalam jejaring sosial masih ada hierarki di mana ada orang yang jadi pemimpin," lanjut Roby.Semua orang, termasuk kelompok yang punya kepentingan, berusaha untuk mengeksploitasi jejaring sosial untuk mempopulerkan dirinya. Roby mengatakan, media sosial yang seharusnya setara sekarang banyak digunakan kelompok berkepentingan untuk menguasai informasi.
http://tekno.kompas.com/read/2012/03...dia.Mainstream
Ketika Media Dikuasai Tokoh Politik ... Orang pun Lari ke Media Sosial?
Sabtu, 11 Februari 2012 | 15:27 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com Tak hanya pemilik modal yang kini menguasai media. Tokoh-tokoh yang berkiprah dalam bidang politik turut latah untuk menjadi pemilik media, terutama media nasional.Anggota Dewan Pers, Wina Armada, menyebutnya dengan istilah "juraganisme dalam pers". Pengaruh kepentingan politik, kata dia, setidaknya akan memengaruhi informasi yang diberikan. Meskipun demikian, tak semua media mengaburkan informasi dan fakta yang sebenarnya.Terkadang wartawannya tidak berani melawan kekuasaan politik ini. Jangan sampai terjadi membuat berita partai A ini kampanye didatangi hanya 500 orang lalu ditulis 5.000 orang. "Ini tidak sesuai dengan kode etik dan terjadi di banyak pilkada," ujar Wina di Jakarta, Sabtu (11/2/2012).
Menurut Wina, tidak salah jika sebuah media dikuasai oleh orang yang berkecimpung di dunia politik dan memiliki kepentingan. Namun, kepentingan itu juga perlu disaring dan tidak terus memanipulasi berita yang akan ditayangkan."Punya kepentingan itu tidak masalah. Walaupun miliknya tidak boleh hilangkan kode etik jurnalistik. Sepanjang tidak melanggar aturan kode etik, tidak masalah," kata Wina.Wartawan senior Albert Kuhon mengungkapkan, media dengan pemilik tokoh politik jangan sampai memberikan berita pencitraan yang tak sesuai kenyataan. Jangan sampai nanti masyarakat kecewa pada akhirnya karena sebelum tokoh politik ini maju, namanya bagus terus, ada pencitraan."Ternyata setelah dipilih jadi presiden atau gubernur, mengecewakan. Sama saja dengan menipu publik," kata Kuhon.
Sosiolog UI, Tamrin Amal Tamagola, mengungkapkan, dengan adanya kepemilikan media massa oleh tokoh politik, maka untuk Pilpres 2014 bukan lagi karena capres yang kuat, melainkan juga capres yang dilihat dari pencitraan di medianya."Yang saya sangat khawatirkan media hanya sekadar alat corong dari pemilik kekuasaan semata untuk kepentingan politiknya. Tambah sulit lagi itu karena sekarang itu ada apa yang disebut dengan taruhan-taruhan politik. Jadi pemilik media ini juga bertarung di dalam arena politik," ujar Tamrin.Dalam dunia pers, kata dia, tak ada tawar-menawar pemberitaan. Ada batas toleransi di mana pemilik media mengendalikan pemberitaannya. Kebebasan pers yang bertanggung jawab, kata dia, tetap yang terpenting."Kebebasan itu yang harus selalu diperjuangkan. Insan-insan pers harus perjuangkan bahwa kebebasan jurnalisme mereka itu sesuatu yang tidak boleh ditawar," katanya.
http://nasional.kompas.com/read/2012....Tokoh.Politik
Dubes AS Puji Pemerintah Soal Kebebasan Internet
18/02/2011 17:07
Liputan6.com, Jakarta: Duta Besar Amerika Serikat (AS), Scot Marciel, senang dengan kebebasan internet di Indonesia. Menurutnya Pemerintah Indonesia, tidak mengekang kebebasan Internet. "Banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan internet untuk menyampaikan ekspresi dan kritik," ujatnya, kepada sejumlah wartawan di kediamannya, Jumat (18/2).
Menurut Marciel, Indonesia yang saat ini memiliki komunitas facebook terbesar kedua di dunia, dan pengguna terbesar ketiga untuk twitter, menunjukkan bagaimana masyarakat dengan bebas dan mudah menyampaikan pendapat dan ekspresinya tanpa harus dikekang oleh pemerintah. Ditambahkannya, banyaknya masyarakat Indonesia yang membuat blog dan aktif mengisi konten dalam blog-blognya akan membuat masyarakat tersebut menjadi lebih cerdas.
Scot Marciel menyatakan, apa yang terjadi di Mesir, Tunisa dan beberapa negara Timur Tengah yang kini tengah bergolak, menggambarkan bagaimana sulitnya pemerintah setempat mengontrol kebebesan berinternet meski sudah berupaya dengan memblokit akses internet.
Scot yang mengaku baru enam bulan bertugas di Indonesia, mendukung upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk melindungi warganya dari efek samping kebebasan internet dengan cara memblokir situs-situs yang berbau pornografi. "Saya sendiri yang memiliki anak belasan khawatir dengan dampak dari pornografi, walaupun ini masih menjadi perdebatan di Amerika
http://tekno.liputan6.com/read/32092...basan-internet
Media dikuasain oleh para tokoh politik ... Media sosial dikuasai oleh ts dan kloningannya ...
Makin banyak order aja nih ts ... Btw ... Kabar d137ers ama kabeian gmn?? Sehat???
Makin banyak order aja nih ts ... Btw ... Kabar d137ers ama kabeian gmn?? Sehat???
biar raja media yang ngerasa bisa mempengaruhi opini publik pada gigit jari !!!!
media mereka gak akan berpengaruh signifikan sama publik yang cerdas !!
media mereka gak akan berpengaruh signifikan sama publik yang cerdas !!